PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN ALIH DAYA TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING YANG DI PHK SEPIHAK DALAM MASA KONTRAK

Duflitama Astesa (Ketua Komisi Hukum dan HAM SEFA FH UMM Periode 2021)

ABSTRAK

Mempekerjaan pekerja dengan menggunakan sistem alih daya atau outsourcing merupakan suatu kegiatan yang senyatanya memberikan pengaruh terhadap keberlangsungan perusahaan maupun tenaga kerja itu sendiri. Terlebih lagi banyaknya perusahaan, baik perusahaan yang bergerak di bidang produk maupun jasa menggunakan sistem outsourcing dengan dalih agar siklus gerak perusahaan berjalan jauh lebih maksimal dan efektif. Hal tersebut tidak lain dikarenakan, sistem ini memberikan kemudahan kepada perusahaan dalam hal menjalankan roda perusahaan tanpa harus melakukan open recuitment. Sebab, pengalihan daya atau outsourcing tersebut terjadi dengan adanya hubungan kerja yang timbul dari sebuah perjanjian yang dilakukan dan disepakti oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, perusahaan penerima jasa dan pekerja outsourcing. Namun, kendati demikian tidak dipungkiri jika perjanjian yang telah disepakati oleh masing-masing pihak sering terjadi sebuah pelanggaran atau tindakan yang tidak sesuai dengan kesepakatan bersama. Polemik adanya tindakan perusahaan yang memberhentikan pekerja outsourcing dalam masa kontrak pun juga tidak asing lagi terjadi, namun penyelesaiannya pun juga tidak memberikan titik temu. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum mengenai bentuk tanggungjawab perusahaan terhadap pekerja outsourcing yang di PHK sepihak dalam masa kontrak dan bagaimana langkah yang dapat ditempuh bagi pekerja outsourcing yang di PHK sepihak dalam masa kontrak dalam memenuhi hak-hak yang harus diterimanya. Penulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analisis dengan metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil dari penulisan ini menunjukan pertanggungjawaban perusahaan terhadap pekerja outsourcing berdasar pada peraturan dan prosedur yang berlaku yang mana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012 tepatnya pada Pasal 29 ayat (3) Jo Pasal 1367 KUHPerdata dan penyelesaian perkara PHK sepihak dalam masa kontrak terhadap pekerja outsourcing tersebut dapat dilakukan melalui non-litigasi dan litigasi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri.

Kata Kunci:Tanggungjawab Perusahaan, Pekerja Outsourcing, PHK Sepihak

 

ABSTRACT

Employing workers using an outsourcing or outsourcing system is an activity that in fact has an influence on the sustainability of the company and the workforce itself. Moreover, many companies, both companies engaged in products and services, use an outsourcing system on the pretext that the company's motion cycle runs much more optimally and effectively. This is none other than because, this system provides convenience to companies in terms of running the company's wheels without having to do open recruitment. This is because the transfer of power or outsourcing occurs in the presence of a working relationship that arises from an agreement made and agreed upon by the labor service provider company, the service recipient company and the outsourced worker. However, even so, it is undeniable that the agreement that has been agreed upon by each party often results in a violation or action that is not in accordance with the mutual agreement. The polemic of the company's actions to terminate outsourcing workers during the contract period is also not uncommon, but the resolution also does not provide a common ground. This paper aims to find out how the legal arrangements regarding the form of corporate responsibility for outsourcing workers who are laid off unilaterally during the contract period and what steps can be taken for outsourced workers who are unilaterally laid off during the contract period in fulfilling the rights they must receive. This writing uses a normative juridical writing method, which is descriptive analysis with data collection methods in the form of literature studies and applicable laws and regulations. The results of this paper show that the company's accountability for outsourcing workers is based on applicable regulations and procedures which are regulated in Article 62 of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower in conjunction with the Regulation of the Minister of Manpower Number 19 of 2012 precisely in Article 29 paragraph (3) Jo Article 1367 of the Civil Code and the settlement of cases of unilateral termination of employment during the contract period for outsourcing workers can be carried out through non-litigation and litigation at the Industrial Relations Court at the District Court

Keywords: Corporate Responsibility, Outsourcing Workers, Unilateral Layoffs

 

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Perkembangan zaman yang kian maju dan modern memberikan pengaruh terhadap dinamika perekonomian. Ditekannya berbagai kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan diringi keinginan masyarakat yang tidak terbatas, memberikan ‘percikan’ kepada banyak kalangan baik dari pelaku usaha atau perorangan agar lebih responsif dan progresif guna memenuhi kebutuhan perekonomian dalam kehidupannya. Hal tersebut tidak terkecuali memberikan pengaruh terhadap perusahaan-perusahaan, baik perusahaan yang bergerak di bidang produk maupun di bidang jasa. Berjalannya roda perusahaan tidak pungkiri juga terjadi adanya laju perekonomian yang senantiasa dinamis. Hal ini menjadikan agar kiranya perusahaan tersebut dapat bergerak melakukan inovasi dan senantiasa lebih kreatif. Terlebih lagi perusahaan merupakan pendukung perekonomian sebuah negara, yang mana di dalamnya dapat memberikan sumbangsih terhadap pendapatan negara dan membantu negara dalam hal meminimalisir pengangguran serta berperan dalam menciptakan stabilitas perekonomian nasional.[1] Sebagaimana yang diketahui bahwa menciptakan stabilitas perekonomian nasional merupakan salah satu kegiatan guna mewujudkan pembangunan nasional yang bertujuan untuk tercapainya pembaharuan ke arah yang lebih baik dan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Maka atas hal tersebut, banyaknya perusahaan yang berdiri di lingkungan masyarakat dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar untuk mengembangkan skill yang dimilikinya, sebab dalam hal ini perusahaan memiliki peran sebagai wadah atau tempat atau lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang belum memiliki pekerjaan tetap.

Selain itu, mengingat kembali atas perkembangan ekonomi yang selalu dinamis, persaingan dalam lingkup perusahaan atau dunia bisnis juga semakin berkompetitif. Persaingan tersebut membuat perusahaan harus senantiasa fokus terhadap aktivitas atau laju dari perusahaan yang dijalankan. Tidak sedikit dari perusahaan yang sedang bersaing tersebut berusaha untuk melakukan efesiensi terhadap biaya produksi yang dijalankan dalam perusahaanya, yang mana hal itu dilakukan agar sebaik mungkin perusahaan dapat menyeimbangi iklim persaingan usaha yang sedang terjadi.[2] Usaha melakukan efesiensi terhadap biaya produksi yang dilakukan perusahaan tersebut salah satunya yakni dengan menerapkan sistem outsourcing.

Sistem ini memberikan kemudahan kepada perusahaan sebab perusahaan yang memerlukan tenaga kerja tidak perlu susah-susah dalam mencari, menyeleksi dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan. Secara pelaksanaan sistem outsourcing dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagaimana berdasar pada hasil riset yang dilakukan oleh Divisi Riset PPM Manajemen, menunjukan bahwa terdapat sekitar 73% (persen) perusahaan di Indonesia yang menggunakan sistem outsourcing dalam melakukan kegiatan di dalam perusahaannya, dan sisanya 27% (persen) perusahaan tidak menggunakan sistem outsourcing (Sumber: Divisi Riset PPM Manajem).[3] Sehingga, dapat disimpulkan, bahwa perusahaan yang berdiri di wilayah Indonesia kebanyakan menggunakan sistem outsourcing dalam menjalankan kegiatan di perusahaannya. Oleh karenanya, sudah dipastikan jika keberadaan sistem outsourcing ini memberikan manfaat tersendiri kepada perusahaan.

Adapun secara umum manfaat outsourcing yang diterapkan dalam perusahaan dapat memberikan manfaat strategis pada penyelenggaran perusahaan, selain untuk memberikan pekerjaan pada masyarakat akan tetapi dapat meningkatkan fokus perusahaan dalam kompetensi utama, hemat dan pengendalian biaya, memungkinkan untuk suatu pembagian resiko dimana apabila dalam aktivitas perusahaan dikontrakan pada pihak ketiga atau pihak lain maka resiko akan ditanggung bersama pula serta mempercepat keuntungan dari perusahaan agar menjadi lebih efektif dan cekatan dalam merespon laju pasar.

Outsourcingdapat diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja yang mana bertujuan untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan tertentu melalui penyedia jasa tenaga kerja.[4] Dengan kata lain sistem outsourcing merupakan kegiatan yang mana suatu perusahaan yang menyediakan atau mempersiapkan tenaga kerja untuk kebutuhan perusahaan lain. Sebagaimana hal ini senada dengan pendapat Komang Priambada yang menyatakan bahwa outsourcing merupakan pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain yang bertujuan untuk mendukung strategi pemakai jasa atau penerima jasa baik untuk pribadi, perusahaan, atau yang lainya.[5]

Selanjutnya dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan outsourcing didasar pada suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dan tenaga kerja, yang mana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Dari penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sistem outsourcing merupakan pengalihan pekerja kepada tempat lain atau perusahaan lain guna melaksanakan perintah atas penyedia jasa tenaga kerja yang didasar pula pada suatu perjanjian tertulis. Sehingga, hubungan hukum yang timbul tersebut berdasar pada perjanjian yang telah disepakati bersama antara perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, pekerja outsourcing dan perusahaan penerima jasa. Dalam praktik di lapangan, sebelumnya perusahaan penyedia jasa tenaga kerja menetapkan kualifikasi dan syarat-syarat mengenai kerja, kemudian atas kualifikasi dan syarat tersebut perusahaan penerima jasa merekut calon tenaga kerja.

Hubungan hukum yang dimiliki oleh pekerja outsourcing bukan dengan perusahaan pemberi kerja atau penerima jasanya, akan tetapi hubungan hukum pekerja outsourcing ialah dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.[6] Terdapat pihak penyedia jasa yang memiliki tanggungjawab terhadap pekerjanya, sehingga hal ini mengartikan bahwa perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dalam menempatkan pekerja outsourcing di perusahaan penerima bertanggung jawab terhadap pekerja tersebut. Dan pun, pekerja yang ditempatkan pada perusahaan penerima jasa tidak menjadi tanggung jawab dari perusahaan penerima atau dengan kata lain para pekerja yang dialihkan tersebut bekerja pada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja bukan berkerja pada perusahaan penerima jasanya. Secara hukum, pekerja outsourcing merupakan tetap karyawan dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, bahkan gaji pekerja outsourcing dibayarkan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja setelah memperoleh pembayaran dari perusahaan penerima jasa. Meskipun perintah kerja diberikan oleh perusahaan penerima kerja, namun juga diberikan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dan terkadang perintah kerja tersebut diberikan dalam bentuk paket sebagaimana ketentuan dalam perjanjian yang disepakati bersama. [7]

Perusahaan penyedia jasa tenaga kerja memiliki tanggung jawab penuh terhadap pekerja yang dialihkan atau pekerja outsourcing tersebut, sebagaimana hubungan kerja yang terikat oleh keduanya. Namun kendati demikian, tidak disangka pula jika pekerja ousourcing sering mengalami pelanggaran-pelanggaran hak yang dimilikinya atas kelalaian atau ketidaktanggungjawaban dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerjanya. Secara konsep memang kedudukan pekerja dengan atasan memiliki tingkatan yang rendah dan lemah, akan tetapi bukan berarti tingkatan tersebut memberikan keleluasaan untuk bertindak semena-mena.[8] Adanya manfaat yang timbul dari pelaksanaan sistem outsourcing yang telah disebutkan di atas, bukan berarti menjadikan keadaan akan terus berjalan baik. Seperti halnya pelaksanaan sistem outsourcing di Indonesia yang masih menimbulkan suatu pelanggaran hak para pekerja outsourcing dan sering mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh, masih banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja atau biasa yang disebut dengan PHK secara sepihak kepada pekerja outsourcing dalam masa kontraknya, yang mana dilakukan di luar prosedur yang ada bahkan dengan terang dilakukan atas sepihak dari perusahaan saja tanpa mempertimbangkan ketentuan yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pekerja outsourcing tidak dapat berkutik atas ketidaktahuannya mengenai pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan tempat ia bekerja.

Pemutusan hubungan kerja atau PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau karyawan dengan perusahaan atau majikan tempat bekerja. Dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan  bahwa :

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dan pekerja. Ditegaskan pula, bahwa PHK memiliki beberapa macam yakni perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat bekerja. Setiap perusahaan memiliki wewenang untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya, akan tetapi harus berdasar pada alasan yang jelas dan berdasar pada hukum yang berlaku.

Lantas bagaimana dengan PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja outsourcing dalam masa kontraknya, hal ini memang merupakan polemik yang sering terjadi di dalam bidang ketenagakerjaan. Sebagaimana yang diketahui bahwa pelaksanaan pengalihan pekerja outsourcing harus didasar pada perjanjian bersama yang mana perjanjian tersebut berdasar pada kesepakatan dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Kedudukan perjanjian tersebut yang menjadi dasar atas dimulai dan diakhirinya suatu pekerjaan oleh pekerja outsourcing atau biasa disebut dengan kontrak kerja. Oleh karenanya, hubungan kerja akan berakhir apabila masa kontrak kerja juga sudah berakhir, bukan berakhir sebelum waktunya. Sebagaimana hal ini ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa hubungan kerja berakhir apabila :

a.  Pekerja meninggal dunia;

b.  Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c.  Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;atau

d.  Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Perjanjian dalam ranah industrial menjadi hal yang patut dan wajib untuk diterapkan dalam setiap perusahaan, agar dapat menciptakan pola hubungan kerja yang tertata rapi dengan aturan-aturan yang termuat dalam perjanjian antara pihak perusahaan dan pekerjanya. [9]

Bagi para pekerja outsourcing, cara PHK sepihak dalam masa kontrak tersebut dengan nyata telah melanggar hak-hak yang dimilikinya, sebab ketidak jelasan alasan PHK tersebut, ketidakpastian masa kontrak yang diketahui dan disepakatinya serta mempertanyakan tanggung jawab dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang pekerja ikuti terhadap pemenuhan hak-hak pekerja outsourcing. Sehingga tidak sedikit persoalan mengenai PHK sepihak terhadap pekerja outsourcing dalam masa kontrak kemudian masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk memperoleh suatu putusan pengadilan yang berkeadilan. Sebagiaman pendapat dari Rawls yang menyatakan bahwa setiap orang harus mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kebebasannya yang sebesar-besarnya, sebagaimana berdasarkan sistem kebebasan yang memberikan kesempatan sama pada semua orang. Kemudian, ketidaksamaan orang di bidang sosial ekonomipun wajib untuk diatur sedemikian rupa agar nantinya golongan yang paling lemah (dalam hal ini pekerja) merupakan pihak yang paling diuntungkan dan setiap orang diberi kesempatan yang sama tanpa melihat status tingkatannya. [10]

Berdasar pada latar belakang di atas, maka penulis mengambil judul “Pertanggungjawaban Perusahaan Alih Daya Terhadap Pekerja Outsourcing Yang Di Phk Sepihak Dalam Masa Kontrak”.

B.    Rumusan Masalah

Sebagaimana latar belakang yang telah diuraikan di atas, adapun rumusan masalah yang diambil antara lain:

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja outsourcing ?

2. Bagaimana langkah yang dapat ditempuh bagi pekerja outsourcing yang di PHK sepihak dalam masa kontrak oleh perusahaan ?

C.   Tujuan Penulisan

Berdasar pada rumusan masalah dalam penulisan ini, sehingga penulisan ini bertujuan antara lain sebagai berikut:

a.  Untuk mengetahui tanggung jawab perusahaan penyedia jasa tenaga kerja terhadap pekerja outsourcing yang di PHK sepihak dalam masa kontrak.

b.  Untuk mengetahui langkah apa yang dapat ditempuh bagi pekerja outsourcing yang di PHK sepihak dalam masa kontrak oleh perusahaan.

D.   Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analisis dengan metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Metode penelitian yuridis normatif merupakan jenis penelitian hukum yang dilakukan secara yuridis normatif, dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau disebut dengan law in the books atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang dimana dijadikan sebagai patokan berperilaku manusia.[11] Metode pendekatan yang digunakan dalam metode penelitian yuridis normatif yakni berdasarkan pada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.[12]

a.     Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama dalam metode penelitian ini, yang meliputi peraturan perundang-undangan dan segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum. Bahan hukum primer dalam metode penelitian ini antara lain :

1.  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2.  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3.  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

4.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

5.  Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012

b.    Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang meliputi buku-buku, jurnal, artikel dan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan artikel ilmiah ini.

E.    Kerangka Teori

1.     Teori Tentang Tanggung Jawab

Sebagaimana pendapat dari Hans Kelsen tanggung jawab hukum merupakan seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau seseorang tersebut memikul tanggung jawab hukum yang mengartikan bahwa seseorang itu bertanggung atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.[13] Sedangkan menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa sesuatu hal yang dapat melahirkan hukum kepada orang lain untuk memberi pertanggungjawaban.[14] Dan bertanggung jawab merupakan bentuk untuk menjawab sesuatu oleh dan seseorang terhadap apa yang dipikul.[15]

Kemudian, teori tanggung jawab menurut Abdulkadir Muhammad bahwa tanggung jawab dibagi menjadi: [16]

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja, yang mana tergugat harus sudah melakukan sebuah perbuatan yang mana perbuatan tersebut merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa saja yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian. Hal ini sebagaimana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian, yang mana perbuatan tersebut didasarkan pada konsep kesalahan yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah berbaur. Hal ini sebagaimana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

c.  Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan, yang mana didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, sehingga meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya. Hal ini sebagaimana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 136 KUHPerdata.

2.     Terori Tentang Perusahaan

Berdasar pada pendapat dari Molengraaf yang menyatakan bahwa perusahaan merupakan keseluruhan perbuatan yang dilakukan terus menerus untuk bertindak ke luar agar memperoleh penghasilan dengan memperniagakan atau atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perniagaan.[17] Dengan kata lain, perusahaan merupakan tempat yang bergerak di aspek ekonomi.

Kanterlis menyatakan bahwa perusahaan merupakan suatu mesin untuk memuaskan kebutuhan manusia atau masyarakat, dimana perusahaan memperoleh pendapatan dari masyarakat yang selanjutnya didistribusikan kepada pemilik perusahaan, pekerja, pemasok dan penyedia barang publik. Sedangkan menurut Barthwal, bahwa perusahaan merupakan sebuah organisasi milik seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama terlibat dalam berbagai bentuk aktivitas produktif maupun aktivitas lain yang telah ditentukan sebelumnya.[18] Sehingga, secara umum perusahaan merupakan segala bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus menerus, bekerja, berada dan didirikan di wilayah Indonesia dengan tujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan. Apabila perusahaan didasar pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh perusahaan maka dapat dibedakan menjadi perusahaan jasa, perusahaan dagang, dan perusahaan manufaktur.

3.     Teori Tentang Pekerja Outsourcing

Pekerja kontrak atau outsourcing dapat diartikan sebagai karyawan dengan status bukan karyawan tetap, yang mana ia bekerja hanya untuk waktu tertentu berdasar pada kesepakatan dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Menurut Hasibuan karyawan adalah seorang pekerja yang bekerja di bawah perintah orang lain dan mendapat kompensasi serta jaminan. Selanjutnya menurut Jehani outsourcing merupakan kegiatan penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan membagi resiko dan mengurangi beban perusahaan tersebut. [19]

Maka dapat dikatakan bahwa pekerja outsourcing merupakan pekerja yang bekerja pada suatu perusahaan dengan kerja waktu tertentu yang didasari pada suatu perjanjian atau kontrak kerja.

4.     Teori Tentang Kontrak Kerja

Istilah kontrak merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu contract, sedangkan dalam bahasa Belanda istilah kontrak disebut dengan overeensomsrecht. Berdasar pada pendapat Salim H.S, yang menjelaskan bahwa kontrak kerja adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjia kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.[20] Sedangkan, menurut Wiwoho Soedjono, perjanjian kerja atau kontrak kerja merupakan suatu perjanjian antara orang perorangan pada suatu pihak dengan pihak lain sebagai pengusaha untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan mendapat upah.[21]

PEMBAHASAN

A.   Pengaturan Hukum Mengenai Pertanggungjawaban Perusahaan Terhadap Pekerja Outsourcing

Mengingat bahwa terdapat hubungan hukum yang terjalin antara pekerjaoutsourcing dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, maka secara tidak langsung terdapat hak dan kewajiban yang muncul dan wajib untuk dijalankan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa sistem outsourcing merupakan suatu kegiatan penyerahan sebagian pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan atau bisnis utama kepada perusahaan lain. Terdapat syarat jenis pekerjaan yang dapat diserahkan dari perusahaan satu dengan perusahaan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan antara lain:

1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama perusahaan

2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan atau perusahaan penerima jasa

3. Merupakan jenis kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan

4. Tidak menghambat proses produksi

Hubungan hukum dalam sistem outsourcing ialah hubungan yang terjalin antara perusahaan penyedia jasa tenaga kerja sebagai penerima pekerjaan dengan perusahaan penerima jasa sebagai pemberi pekerjaan. Dan perjanjian kerja atau kontrak kerja antara perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja outsourcing. Pekerja outsourcing menandatangani perjanjian kerja atau kontrak kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja sebagai dasar hubungan ketenagakerjaanya, yang perjanjian kerja atau kontrak kerja tersebut menekankan bahwa perkerja outsourcing ditempatkan dan bekerja di perusahaan penerima jasa atau setidak-tidaknya memuat mengenai antara lain:[22]

1. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa

2. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaanpenyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

3. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Selanjutnya, perjanjian kerja atau kontrak kerja wajib didaftarkan kepada instansi ketenagakerjaan kabupaten atau kota yang berada di tempat perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja melaksanakan pekerjaan pada perusahaan penerima kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu kabupaten atau kota dalam satu provinsi, maka perjanjian tersebut didaftarkan pada instansi ketenagakerjaan provinsi. Dan apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja melaksanakan pekerjaan pada perusahaan penerima kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi, maka pendaftaran perjanjian dilakukan pada Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial. Sehingga, hal tersebut menjadi tanggung jawab penuh dari perusahaan dan apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak mendaftarkan perjanjian kerja pada instansi terkait, maka konsekuensinya perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dicabut izin operasional perusahaan oleh instansi ketenagakerjaan. Dengan dicabutnya izin tersebut, hak-hak dari pekerja outsourcing tetap menjadi tanggung jawab dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja sebagaimana hal ini sesuai ketentuan dalam Kepmenakertrabs Nomor 101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Peizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja.

Dalam sistem outsourcing perusahaan penerima jasa tidak mempunyai hubungan kerja secara langsung dengan pekerja outsourcing, semua permasalahan yang kemungkinan terjadi nanti pekerja outsourcing tetap menjadi tanggung jawab dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.[23]

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan hukum yang terjalin antara pekerja dengan perusahaan penerima jasa, meskipun dalam kenyataanya pekerja outsourcing bekerja pada perusahaan penerima jasa. Akan tetapi, antara pekerja outsourcing dengan perusahaan penerima jasa tidak dapat saling menuntut hak dan kewajiban. Sebab, pekerja outsourcing terikat hubunga kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang mana hubungan tersebut terjalin dalam perjanjian kerja yang disepakati bersama dan mengikat para pihak.

Maka dari itu, apabila terdapat sengketa yang dialami oleh pekerja outsourcing, maka pihak yang bertanggung jawab ialah perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Dan pekerja outsourcing dapat meminta pertanggungjawaban atas segala bentuk perbuatan dari pihak lain, tidak terkecuali perbuatan dari perusahaan itu sendiri. Sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh terhadap pekerja outsourcing maka dipandang perlu untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum mengenai tanggung jawab yang dimiliki oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tersebut, agar dimana dapat menjamin dan memberikan kepastian hukum terhadap pekerja outsourcing itu sendiri.

Tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja outsourcing sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa seseorang atau siapapun manusia atau perusahaan atau badan hukum tidak hanya bertanggungj awab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, akan tetapi juga bertanggung jawab  atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang yang menjadi tanggungannya atau yang berada dibawah pengawasannya. Sehingga dalam hal ini, pekerja outsourcing merupakan tanggung jawab dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang dibuktikan dengan perjanjian kerja atau kontrak kerja yang telah dijelaskan di atas. Selanjutnya pengaturan mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja outsourcing juga telah diatur dalam Pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mana menyatakan bahwa perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, tidak ada kewenangan dari perusahaan penerima jasa pekerja outsourcing untuk melakukan penyelesaian sengketa.

Sudah menjadi tanggung jawab dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja atas segala ‘gerak-gerik’ pekerja outsourcing yang telah dialihkan, sebab tanggung jawab tersebut juga berisi mengenai perlindungan terhadap hak-hak dari pekerja outsourcing. Sebagaiamana ketentuan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012 tepatnya pada Pasal 29 ayat (3) yang menyebutkan hak-hak tenaga kerja alih daya terdiri dari :

a. Hak atas cuti apabila memenuhi syarat masa kerja

b. Hak atas jaminan sosial

c. Hak atas tunjangan hari raya

d. Hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu

e. Hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia hasa tenaga kerja sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan tenaga kerja

f.  Hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.

Berdasar pada pasal a quo khususnya bunyi Pasal 29 ayat (3) huruf e yang menyatakan perusahaan wajib memberikan ganti rugi atas pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan dalam masa kontrak. Ganti rugi tersebut ditujukan, agar kiranya pekerja outsourcing mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang telah dilindungi dalam peraturan yang berlaku. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja outsourcing secara tegas telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengartikan bahwa tanggung jawab tersebut merupakan suatu kewajiban yang wajib untuk dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja atas hak-hak dari pekerja outsourcing. Namun kendati demikian, pelaksanaan sistem outsourcing yang dilakukan masih menimbulkan problematika dan pelanggaran yang terjadi, bahkan tidak memenuhi syarat dari undang-undangan yang mengaturnya.

B.    Langkah Yang Dapat Ditempuh Bagi Pekerja Outsourcing Yang Di PHK Sepihak Dalam Masa Kontrak

Melihat masih banyaknya problematika atas tindakan perusahaan yang melanggar hak-hak dari pekerja outsourcing. Maka sangat penting untuk mengetahui bagaimana caranya untuk tetap mempertahankan hak-hak yang semestinya pekerja outsourcing dapatkan. Walaupun pekerja outsourcing memiliki kedudukan yang rendah daripada atasannya, bukan berarti pekerja outsourcing dilakuakan semena-menanya. Pasalnya terlepas dari tingkatan atau status yang dimilikinya, semua orang sama dihadapan hukum yang mana memiliki hak sama dan wajib untuk dipenuhi, dihormati dan dilindungi sebagaimana hal ini amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kemudian, apabila pekerja outsourcing diPHK sepihak dalam masa kontrak oleh perusahaannya maka sudah dipastikan pekerja outsourcing wajib untuk ‘meninggalkan’ pekerjaannya. Akan tetapi, yang perlu dicermati kembali ialah, secara hukum perusahaan memang diperbolehkan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya dengan syarat telah disepakati oleh masing-masing pihak yang bersangkutan. Apabila PHK tersebut tidak dilakukan secara demikian, maka pelaksanaan PHK tersebut batal demi hukum. Sehingga, dari hal tersebut sudah dengan terang menunjukan apabila perusahaan melakukan PHK sepihak kepada pekerja outsourcing maka sudah jelas pelaksanaan PHK tersebut batal demi hukum, terlebih lagi dilakukan dalam masa kontrak. Atau dengan kata lain jika PHK dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan, maka PHK yang dilakukan tersebut batal demi hukum dan perusahaan wajib mempekerjakan pekerja yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima. Pengaturan mengenai penyelesaian PHK di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial secara lengkap dan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang lebih khususnya terletak dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 172. [24]

Dalam Pasal 151Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengaskan bahwa :

1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerinah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja

2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh

3. Dalam perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan hasil lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Sebagaimana ketentuan dalam pasal a quo yang mengartikan bahwa pelaksanaan PHK seharusnya dicegah dan apabila memang diharuskan untuk dilakukan dan tidak terdapat sebuah pilihan maka PHK dapat dilakukan asalkan disepakati bersama antara pengusaha dan pekerja atau telah diperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Terdapat proses hukum yang adil yang dijalankan oleh pengadilan dan putusan yang berkekuatan hukum tetap, jika memang kemudia terbukti perusahaan diperkenankan melakukan PHK dengan tetap membayarkan hak pekerja outsourcing. [25]Secara konsep, jika pekerja outsourcing melakukan sebuah kesalahan, tidak bisa diPHK secara sewenang-wenang apalagi jika pekerja tidak melakukan kesalahan atau pekerja outsourcing yang masih memiliki kontrak kerja, maka tentu tidak diperbolehkan untuk dilakukan PHK tanpa dasar yang jelas.

Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan :

"Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja".

Sehingga,ketika pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja yang masih dalam hubungan kerja atau masih dalam masa kontrak, maka perusahaan wajib membayar ganti rugi sebesar sisa kontrak. Ketentuan tersebut memberikan perlindungan ganti rugi bagi pekerja outsourcing agar mendapatkan hak-haknya karena pekerja outsourcing tersebut telah diPHK sebelum masa berakhirnya kontrak yang telah disepakti. Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, maka langkah yang dapat ditempuh oleh perkeja outsourcing dapat melaporakan pelanggaran tersebut ke Dinas Tenaga Kerja setempat dan menempuh upaya penyelesaian perselisihan melalui jalur non-litigasi atau litigasi dengan pengajuan ke pengadilan hubungan industrial, apabila memang pada penyelesaian melalui non-litigasi tidak mendapat titik temu dari sengekta.

Terdapat langkah hukum yang dapat ditempuh oleh pekerja outsourcing apabila di PHK sepihak oleh perusahaan, yang mana hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan  Industrial, antara lain:

1.     Bipartit

Langkah ini dilakukan dengan melalui musyarawah untuk mencapai mufakat yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2 Tahun 2004 berbunyi :

(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dimana pelaksanaan bipartit dilakukan paling lama 30 hari, akan tetapi apabila perundingan bipartit gagal atau tidak mendapatkan titik temu, maka perkerja outsourcing dalam melakukan langkah hukum yang lain. Dimana salah satu pihak atau kedua belah pihak wajib untuk mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang berwenang atau Dinas Ketenagakerjaan yang mana perundingan bipartit gagal. Dan kemudian instansi terkait akan menawarkan kepada para pihak untuk melakukan penyelesaian perka melalui konsiliasi atau arbitase, akan tetapi dalam hal keduanya tidak menetapkan penyelesaian perkara yang ditawarkan oleh instansi, maka instansi memutuskan penyelesaian perkara untuk diselesaikan melalui mediasi. Selanjutnya, lain hal apabila dalam penyelesaian bipartit menemukan titik temu, maka kedua belah pihak wajib untuk membuat perjanjian bersama dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

2.     Mediasi

Penyelesaian yang melalui mediasi ini dilakukan oleh mediator dari Dinas Ketenagakerjaan setempat, yang mana sifat dari mediator tersebut menjadi pihak ketiga atau penengah dari para pihak yang bersengketa. Apabila dalam hal penyelesaian perkara melalui mediasi menemukan titik temu, sama halnya dengan proses bipartit yang mana para pihak yang bersengketa membuat perjanjian bersama dan didaftar ke Pengadilan Hubungan Industrial. Namun kendati demikian, tidak dipungkiri dalam proses penyelesaian tersebut para pihak tidak menemukan titik temu maka mediator wajib untuk memberikan anjuran tertulis sebagai solusi dalam penyelesaian perkara. Sebagaimana hal ini berdasar pada ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Dan apabila anjuran tersebut ditolak maka penyelesaian dapat dilakukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

3.     Pengadilan hubungan industrial

Penyelesaian perselisihan mengenai PHK merupakan wewenang dari Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat, sebagaimana hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial berbunyi:

Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

a. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

b. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

c. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;

d. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan

Berdasar pada pasal a quo maka sudah jelas apabila terjadi perselihan mengenai PHK sepihak terhadap pekerja outsourcing dalam masa kontrak maka dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Mengingat adanya hak-hak yang wajib untuk dilindungi. Sehingga, dalam hal penyelesaian sengketa PHK sepihak kepada pekerja outsourcing dalam masa kontrak, jalan yang dapat ditempuh oleh pekerja outsourcing unruk melindung hak-haknya ialah dengan cara melalui proses penyelesaian non-litigasi dan litigasi.

KESIMPULAN

Berdasar pada latar belakang dan pembahasan yang telah diuraikan dalam penulisan ini, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1.     Dalam hal terjadi sengketa yakni PHK sepihak terhadap pekerja outsourcing dalam masa kontrak yang dilakukan oleh perusahaan, sebagai pihak yang secara konsep memiliki kedudukan rendah dan lemah, bukan berarti pekerja outsourcing dapat diperlakukan semena-mena. Sebab, dalam hal ini pekerja outsourcing memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerjanya, bukan dengan perusahaan penerima jasa, sehingga apabila ada sengketa atau terjadinya pelanggaran hak yang dilakukan oleh perusahaan kepada pekerja outsourcing maka sudah menjadi kewajiban dari perusahaan penyedia jasa untuk bertanggung jawab atas hak-hak yang dimiliki oleh pekerja outsourcing, sebagaimana hal ini yang telah diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012 tepatnya pada Pasal 29 ayat (3) Jo Pasal 1367 KUHPerdata.

2.     Tidak dipungkiri apabila dalam hal terjadi PHK sepihak oleh perusahaan terhadap pekerja outsourcing, perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas apa yang dialami oleh pekerja outsourcing, terutama tidak bertanggung jawab atas hak-hak yang melekat pada pekerja outsoourcing. Maka langkah hukum yang dapat ditempuh oleh pekerja outsourcing untuk meminta kepastian hukum dan pemenuhan hak-haknya ialah dengan melakukan penyelesaian melalui jalur bipartit, konsialisasi, arbitase, mediasi atau melalui jalur litigasi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dalam hal penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi tidak mendapat titik temu pada masing-masing pihak yang bersengketa.

 

DAFTAR RUJUKAN

Buku

Abdul Khakim, S.H., M.Hum. 2004. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Amiruddin, dkk. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Somadi. 2007. Teori Umum Hukum Dan Negara – Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik. Jakarta: BEE Media Indonesia

Rawls. 1971. A Theory of Justice. Cambridge Massachusetss: The Belknap Press of Harvarrd University Press. 302

Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti

HMN Purwosutjipto. 1985.Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Djambatan

Salim.H.S. 2007. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Wiwoho Soedjono. 2003.Hukum Perjanjian Kerja. Jakarta: Bina Aksara

Jurnal

Sartika Nanda Lestari. 2017. Peran Perusahaan Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia. Masalah-masalah Hukum, Jilid 46 No. 1 Hal. 80-91. P-ISSN: 2086-2695, E-ISSN: 2527-4716.

Nicky E.B.Lumingas. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsourcing. Lex et Societatis. Vol. I No. 1.

Triyono. 2011. Outsourcing Dalam Perspektif Pekerja Dan Pengusaha. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol. VI. No. 1.

Janter Nelson Panjaitan. 2014. Tanggung Jawab Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh Pekerja. JOM Fakultas Hukum Volume 1 Nomor 2.

Sri Rahayu Purwani Djati. 2012. Penerapan Sistem Outsourcing Di Perusahaan Swasta Dalam Prespektif Perlindungan Hukum dan Hak-hak Pekerja Kontrak.

Djoko Heroe Soewono. 2019. Kedudukan Pengusaha Dan Pekerja Dalam Perspektif Juridis-Historis. Fakultas Hukum Universitas Kadiri.

Muhammad Holy One N. 2017. Singadimedja. Kedudukan Perjanjian Bersama (PB) Terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Hubungan Industrial. Universitas Padjadjaran Bandung.

Depri Liber Sonata. 2014. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 8. ISSN 1978-5186.

Addina. 2018. Pelaksanaan Tanggung Jawab Perusahaan Outsourcing (PT. Mitra Cahaya Nusantara Pelalawan) Terhadap Pekerja/Buruh. JOM Fakultas Hukum Volume V Edisi 2.

R.A. Duff. 2005. Who Is Responsible, For What, To Whom?. Ohio State Journal of Criminal Law. 2 Ohio St. J. Crim. L. 411. Spring.

Benny Agus Setiono. 2015. Teori Perusahaan / Theory Of The Firm: Kajian Tentang Teori Bagi Hasil Perusahaan (Profit And Loss Sharing) Dalam Perspektif Ekonomi Syariah. Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan. Volume 5 Nomor 2.Universitas Hang Tuah Surabaya.

Widhayani Puri Setioningtyas. 2016. Analisis Sistem Kerja Outsourcing Pada Tenaga Kerja Di Indonesia. Majalah Ekonomi: ISSN No. 1411-9501. Vol. XXI No. 1.

Lis Julianti, S.H., M.H. 2015. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing Di Indonesia. Jurnal Advokasi Vol. 5 No. 1. Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Marsha Yuliana Soegianto, dkk. 2013. Penerapan Stategi Alih Daya (Outsourcing) Di UD. Puyuh Plastik Ditinjau Dari Ketentuan Perundang-Undangan Dan Etika Bisnis. AGORA Vol. 1 No. 1. Universitas Kristen Petra.

Darwis Anatami. 2015. Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Di Luar Pengadilan Hubungan Industrial. Jurnal Hukum Samudra Keadilan. Vol. 10 No. 2. Universitas Samudra Meurandeh Langsa-Aceh.

Kadek Surya Diatmita. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsoucing Berdasarkan Perjanjian Kerja. Universitas Udayana.

Internet

Nindya Noviani. 2019. Prosedur Pendirian Perusahaan Outsourcing. https://smartlegal.id

Peraturan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial;

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2012.


[1]Sartika Nanda Lestari. 2017. Peran Perusahaan Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia. Masalah-masalah Hukum, Jilid 46 No. 1 Hal. 80-91. P-ISSN: 2086-2695, E-ISSN: 2527-4716

[2]Nicky E.B.Lumingas. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsourcing. Lex et Societatis. Vol. I No. 1

[3]Nindya Noviani. 2019. Prosedur Pendirian Perusahaan Outsourcing. https://smartlegal.id

[4]Triyono. 2011. Outsourcing Dalam Prespektif Pekerja Dan Pengusaha. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol. VI. No. 1

[5]Abdul Khakim, S.H., M.Hum. 2004. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

[6]Janter Nelson Panjaitan. 2014. Tanggung Jawab Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh Pekerja. JOM Fakultas Hukum Volume 1 Nomor 2

[7]Sri Rahayu Purwanidjati. Penerapan Sistem Outsourcing Di Perusahaan Swasta Dalam Prespektif Perlindungan Hukum dan Hak-hak Pekerja Kontrak.

[8]Djoko Heroe Soewono. 2019. Kedudukan Pengusaha Dan Pekerja Dalam Perspektif Juridis-Historis. Fakultas Hukum Universitas Kadiri

[9]Muhammad Holy One N. Singadimedja. Kedudukan Perjanjian Bersama (PB) Terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Hubungan Industrial. Universitas Padjadjaran Bandung

[10]Rawls. 1971. A Theory of Justice. Cambridge Massachusetss: The Belknap Press of Harvarrd University Press. 302

[11]Amiruddin, dkk. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada

[12]Depri Liber Sonata. 2014. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 8. ISSN 1978-5186

[13]Somadi. 2007. Teori Umum Hukum Dan Negara – Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik. Jakarta: BEE Media Indonesia

[14]Addina. 2018. Pelaksanaan Tanggung Jawab Perusahaan Outsourcing (PT. Mitra Cahaya Nusantara Pelalawan) Terhadap Pekerja/Buruh. JOM Fakultas Hukum Volume V Edisi 2

[15]R.A. Duff. 2005. Who Is Responsible, For What, To Whom?. Ohio State Journal of Criminal Law. 2 Ohio St. J. Crim. L. 411. Spring

[16]Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti

[17]HMN Purwosutjipto. 1985.Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Djambatan

[18]Benny Agus Setiono. 2015. Teori Perusahaan / Theory Of The Firm: Kajian Tentang Teori Bagi Hasil Perusahaan (Profit And Loss Sharing) Dalam Perspektif Ekonomi Syariah. Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan. Volume 5 Nomor 2.Universitas Hang Tuah Surabaya

[19]Widhayani Puri Setioningtyas. 2016. Analisis Sistem Kerja Outsourcing Pada Tenaga Kerja Di Indonesia. Majalah Ekonomi: ISSN No. 1411-9501. Vol. XXI No. 1

[20]Salim.H.S. 2007. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada

[21]Wiwoho Soedjono. 2003.Hukum Perjanjian Kerja. Jakarta: Bina Aksara

[22]Lis Julianti, S.H., M.H. 2015. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing Di Indonesia. Jurnal Advokasi Vol. 5 No. 1. Universitas Mahasaraswati Denpasar.

[23]Marsha Yuliana Soegianto, dkk. 2013. Penerapan Stategi Alih Daya (Outsourcing) Di UD. Puyuh Plastik Ditinjau Dari Ketentuan Perundang-Undangan Dan Etika Bisnis. AGORA Vol. 1 No. 1. Universitas Kristen Petra

[24]Darwis Anatami. 2015. Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Di Luar Pengadilan Hubungan Industrial. Jurnal Hukum Samudra Keadilan. Vol. 10 No. 2. Universitas Samudra Meurandeh Langsa-Aceh

[25]Kadek Surya Diatmita. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsoucing Berdasarkan Perjanjian Kerja. Universitas Udayana